cover
Contact Name
Adi Nur Rohman
Contact Email
krtha.bhayangkara@ubharajaya.ac.id
Phone
+6285235968979
Journal Mail Official
krtha.bhayangkara@ubharajaya.ac.id
Editorial Address
Jl. Raya Perjuangan, Marga Mulya, Bekasi Utara Kota Bekasi
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
KRTHA BHAYANGKARA
ISSN : 19788991     EISSN : 27215784     DOI : https://doi.org/10.31599/krtha
Core Subject : Social,
The Krtha Bhayangkara Journal is published by the Law Study Program at the Law Faculty of Bhayangkara Jakarta Raya University. This scientific journal presents scientific articles that are the result of research, analysis of court decisions, theoretical studies, literature studies or conceptual critical ideas around current legal issues.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 13 Documents
Search results for , issue "Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021" : 13 Documents clear
Penetapan Wali Hakim Sebagai Pengganti Wali Adlal Yang Tidak Menyetujui Pernikahan Anaknya Elang Darmawan; Ahmad Baihaki; Otih Handayani
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.702

Abstract

Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat berkembang biak dan meneruskan keturunannya. Tata tertib perkawinan di Indonesia diatur dalam kaidah-kaidah hukum perkawinan. diantaranya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di dalam KHI dinyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Permasalahan terjadi manakala wali nasab enggan menikahkan anak disebabkan oleh pertimbangan orang tua mengenai bibit, bebet dan bobot calon menantu. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum yang positif yang kemudian dihubungkan dengan pembahasan yang menjadi pokok pembahasan. Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji aturan hukum bersifat formil seperti undang-undang, peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis. Hasil penelitian mendiskripsikan bahwa Penetepan wali hakim sebagai pengganti wali Adlal bisa dilakukan dengan menggunakan meknisme perkawinan yang benar, perkawinan tidak dapat dicegah atau di batalkan sebab kedua mempelai sudah memenuhi syarat perkawinan dan tidak ada larangan perkawinan.
Kewenangan Absolut Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Ahmad Baihaki; M. Rizhan Budi Prasetya
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.711

Abstract

Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan, kewenangan Pengadilan Agama diperluas sehingga dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Namun ironisnya, Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur kemungkinan adanya pilihan forum (choice of forum) pengadilan mana yang dikehendaki oleh para pihak yang berakad, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Akibatnya dalam praktik peradilan, terdapat beberapa kasus sengketa ekonomi syariah yang diselesaikan melalui mekanisme peradilan umum. Penelitian ini menjadi sangat penting untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Agama sebelum dan setelah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dan implikasinya terhadap kewenangan Pengadilan Agama terhadap perbankan syariah maupun lembaga ekonomi syariah lainnya. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif (yuridis-dogmatik) dengan pendekatan perundang-undangan dan kasus. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah Pengadilan Agama sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi terjadi dualisme kewenangan mengadili antara lembaga Pengadilan Agama dengan lembaga Pengadilan Negeri dikarenakan adanya konflik diantara peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1) tentang hak setiap orang untuk mendapat kepastian hukum. Namun setelah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, Pengadilan Agama dinyatakan sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Putusan pengadilan ini secara normatif tentu tidak hanya berimplikasi terhadap perbankan syariah sebagai salah satu lembaga ekonomi syariah, tetapi juga lembaga lainnya yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
Ketenagakerjaan Dalam Perspektif Omnibus Law Anggreany Haryani Putri
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.721

Abstract

Omnibus Law merupakan produk hukum baru yang di rancang sebagai bentuk trobosan untuk menggantikan peraturan peraturan atau undang undang yang ada sebelumnya.  hal ini tak terlepas dari kelebihan yang dimiliki oleh omnibus law itu sendiri. Sebagai suatu peraturan yang mengandung lebih dari satu muatan peraturan, Omnibus Law mampu dalam mengatasi tumpang tindihnya regulasi. penerapan Omnibus law dapat menyederhanakan peraturan dengan cara mencabut atau mengubah sejumlah Undang-Undang yang telah berlaku sebelumnya. Dalam Undang – Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, ketenagakerjaan menjadi salah satu klaster yang dibahas, Selain karena masih kurang sesuainya Undang Undang ketenagakerjaan dengan situasi dan perkembangan saat ini, Indonesia juga masih dihadapi dengan masalah lain berupa kurang kondusifnya iklim ketenagakerjaan, investasi dan iklim usaha serta belum optimalnya penciptaan lapangan kerja di tanah air. Melalui Omnibus Law, pemerintah akan melakukan penyempurnaan substansi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang lebih adil dan mendukung iklim investasi dengan tetap meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dengan mengatur pemenuhan hak konstitusi pasal 27 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan mengatur Tenaga Kerja Asing, Outsourcing, Pemutusan Hubungan Kerja, jam kerja, dan upah minimum.
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak: Tinjauan Terhadap Peraturan Perundangan Zulkifli Ismail; Melanie Pita Lestari; Ahmad
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.754

Abstract

Tindak pidana eksploitasi seksual anak merupakan sebuah kejahatan yang tidak pernah surut dalam masyarakat. Perkembangan jaman, kemajuan teknologi, serta kemajuan pola pikir manusia tidak membuat kejahatan ini berkurang. Eksploitasi seksual komersial anak mencakup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana eksploitasi seksual anak ditinjau dari peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan analisis yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa Indonesia belum memiliki peraturan perundangan yang secara spesifik mengatur mengenai tindak pidana ini, sehingga ke depannya diharapkan akan ada sebuah peraturan perundangan yang dapat mengakomodir secara spesifik mengenai tindak pidana ini.
Agama Dalam Pelukan Koruptor Amalia Syauket
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.788

Abstract

Pada tataran normatif, semua agama tentu mengajarkan pemeluknya agar tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi. Agama juga menitahkan agar kita tak mengambil hak orang lain. Namun, realitas menunjukkan negara dengan mayoritas umat beragama tidak ada yang lepas dari praktik korupsi. Bahkan, kasus-kasus korupsi akut banyak ditemukan di negara yang memiliki identitas agama kuat, apa pun agama itu.Dorongan beragama, beserta pemahaman tentang Tuhan di dalamnya, sudah tertanan di dalam struktur pikiran maupun syaraf manusia. Namun ketika dorongan tersebut tidak menjadi kenyataan, tanpa dukungan keadaan yang sesuai misalnya pengaruh kekuasaan politik maupun ekonomi. Penelitian kualitatif ini menggunakan sikap rasionalitas dan kritis, tidak berpijak pada iman atau agama apa pun, dengan mengutamakan data sekunder, untuk menjawab pertanyaan penelitian bagaimana agama dalam pelukan para koruptor? Apakah Agama berada dalam pelukan erat para koruptor? Karena Secara logis dan ideal, seseorang yang taat beragama dan menjalankan agama dengan baik akan terhindar dari korupsi. Dari berbagai literature dalam penelitian ini tampak bahwa agama dalam pelukan koruptor hanya sebagai formalitas saja pada tataran dimensi ritual belum mampu berefek pada tingkat perilakunya pada dimensi tataran moralitas,  yang berdampak adanya pemisahan antara ibadah yang sifatnya hubungan langsung dengan Allah SWT dengan ibadah yang bersifat hubungan dengan sesama manusia. Agama dalam pelukan koruptor,baru tercermin pada praktek ritual agama semata, masih menjadi kesalehan individu, belum tercermin dalam perilaku anti korupsi secara sosial. Ketika beragama menjadi koruptor karena pengaruh politik maupun ekonomi, maka  ia ditinggalkan.
Kewenangan MUI Pasca Terbitnya PP No. 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Elfirda Ade Putri
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.792

Abstract

Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim. Pelaku usaha harus memenuhi syarat tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan produknya kembali. Bahwa Permasalahan timbul ketika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, tidak menjadikan sertifikasi dan labelisasi halal      sebagai sebuah bentuk kewajiban (mandotary) bagi pelaku usaha, tetapi bersifat sukarela (vo- luntary). Maka sertifikasi halal dan labelisasi halal dapat dikatakan belum mempunyai legitimasi hukum yang kuat, sehingga tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum produk pangan halal bagi konsumen.
Implementasi Royalti Terhadap Pencipta Lagu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Daffa Okta Permana; Esther Masri; Clara Ignatia Tobing
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.793

Abstract

Indonesia merupakan negara yang memiliki seribu kepulauan yang memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang begitu luas dan kaya dengan keanekaragaman etnik, suku, bangsa dan agama. Kekayaan seni dan budaya itulah yang merupakan potensi nasional yang harus dilindungi. Karya intelektual dari kekayaan seni dan budaya itulah yang dapat dan perlu dilindungi oleh Undang-Undang. Karena kekayaan seni dan budaya yang dilindungi ini dapat meningkatkan kesejahteraan yang tidak hanya bagi penciptanya tetapi juga bagi bangsa dan negara. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan bagaimana upaya hukum jika pencipta lagu tidak mendapatkan hak ekonominya. Penelitian ini menggunakan yuridis-normatif yang dilakukan dengan cara menelusuri atau menelaah dan menganalisis hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum, bahan pustaka atau bahan dokumen. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta masih jauh dari kata baik, karena masih banyak pencipta lagu yang tidak mendapatkan royalti dari lagu yang ia ciptakan, sehingga banyak dari pencipta lagu melakukan upaya hukum demi mendapatkan royalti dari lagu yang ia ciptakan. Perlu sosialisasi juga kepada pencipta lagu dan pemilik tempat hiburan guna mempermudah melaksanakan Peraturan ini sehingga bisa memberikan keadilan bagi pencipta lagu.
Dinamika Dan Perkembangan Peraturan Pada Masa Pandemi Covid 19 Dalam Perspektif Tanggung Jawab Negara Sudjana
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.809

Abstract

Penanganan Pandemi Covid 19 melalui kebijakan perundang-undangan merupakan tanggung jawab yang perlu diimplementasikan dalam konsep negara kesejahteraan tetapi perlu didukung partisipasi aktif masyarakat. Metode pendekatan yang digunakan yuridis normatif dan dan yuridis empiris, Teknik pengumpulan data bersumber dari data sekunder, dan analisis data bersifat normatif kualitatif. Hasil kajian menunjukan  tanggung jawab Negara  melalui kebijakan perundang-undangan  secara bertahap dalam Penanganan Pandemi covid 19  telah diimplementasikan sesuai konsep negara kesejahteraan   karena  negara telah melakukan kewajiban untuk memenuhi karakter dalam memberikan perlindungan secara khusus, sehingga menjadi sumber dari semua peraturan perundang-undangan dalam urusan sosial tetapi  upaya pemenuhan tanggung Jawab Negara  tersebut dikaitkan dengan sistem hukum menurut Friedman masih terkendala  rendahnya budaya hukum masyarakat dalam mentaatinya.
Kedudukan Omnibus Law Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia Andi Desmon
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.826

Abstract

Gagasan konsep omnibus law sebagai metode dalam penyusuanan peraturan perundang-undangan di Indonesia, telah menjadi perbincangan dikalangan pengemban hukum, baik pengemban hukum teoritis maupun pengemban hukum praktis. Berdasarkan kajian dapat disimpulkan bahwa kedudukan omnibus law dalam sistem perundang-undangan Indonesia termasuk ke dalam undang-undang dan mempunyai derajat yang sama dengan undang-undang, yang dibuat, dibentuk, dan diterapkan oleh badan yang menjalankan fungsi legislasi (DPR bersama Presiden), sehingga dapat diuji oleh mahkamah konstitusi, baik diuji secara materil maupun diuji secara formil.
Interpretation of The Phrase “Coercion” in The Compilation of Islamic Law as Reasons for Cancellation of Marriage Neng Widya Millyuner; Adi Nur Rohman; Elfirda Ade Putri
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 15 No. 2 (2021): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v15i2.844

Abstract

Marriage is a common thing in society with ubudiyyah elements in it. However, legal issues often accompany the sanctity of the marriage bond itself, such as the cancellation of a marriage due to an element of coercion from a third party. Article 71 Compilation of Islamic Law (KHI) states that one of the reasons for being able to apply for a marriage cancellation is because of coercion when the marriage took place. The purpose of this study is to analyze the meaning of the phrase "coercion" as a reason for annulment of marriage and its accompanying legal implications. This type of research is classified as normative-empirical legal research using a statutory approach and a conceptual approach plus a sociological approach as a tool. This research refers to a variety of primary, secondary and tertiary legal materials compiled and traced through literature studies and interviews with judges of the Religious Courts. The legal materials that have been collected are then analyzed descriptively and analytically. The results showed that what is meant by coercion in marriage is a marriage that occurs not because of one's own will or feels that he is under threat. As a form of legal consequence, annulment of a marriage by force is different from divorce, where the marriage bond that occurred before the breakup of the marriage is considered never to have occurred.

Page 1 of 2 | Total Record : 13